NIU NIU NIU!!!
Sirine ambulans terdengar di sepanjang jalan, memecah riuh lalu lintas. Mobil
ambulans itu melenggang dengan cepat menuju TKP. Petugas berseragam putih mendekat.
Dengan cekatan mereka berusaha melakukan tugasnya. Membawa remaja berusia 16 tahun
yang sudah tak sadarkan diri, bersimbah darah.
***
Cahaya menyeruak memasuki Indra penglihatanku.
"Auhh" ringisku saat merasa kepalaku seperti dihantam batu yang sangat besar, aku pun
berusaha meraih bel yang ada di atas brankar rumah sakit ini. Hemm... rumah sakit? aku
mencoba merangkai ingatanku yang sedikit kabur, sembari beberapa perawat dan satu dokter
memasuki ruangan dimana aku terbaring.
Aku mulai mengerti situasinya. Aku mencoba berpikir tenang. Kucoba gerakkan tangan
dan kakiku.
"Dokter kenapa kaki saya mati rasa?" Tanyaku dengan perasaan yang gelisah.
Dokter yang berdiri di samping brankar diam sejenak. Entah kenapa diamnya
membuatku semakin gelisah. Aku merasa ada hal yang tak beres.
Setelah menarik napas panjang, dokter tadi berkata "Maaf dek, dikarenakan kecelakaan
yang adek alami, kaki adek mengalami kelumpuhan permanen"
DEG!!!
***
Aku duduk termenung di atas brankar. Hanya ditemani malam dan dinginnya AC yang
menusuk kulitku. Ingin rasanya aku teriak sekencang-kencangnya, lari sejauh-jauhnya. Tapi
yang aku bisa hanya meratapi kemalanganku. Melihat kakiku yang sekarang tak lebih hanya
sekedar aksesoris. Aku hanya bisa mematung di brankar sialan ini.
Kucoba mengingat saat dimana aku diutus mewakili kabupaten Lamongan untuk
mengikuti seleksi pemilihan anggota paskibra untuk upacara pengibaran bendera di Istana
Merdeka. Aku mebayangkan bisa mengenakan seragam putih, berbaris rapih bersama kawan-
kawan paskibra yang lain. Namun kecelakaan ini telah mengahancurkan segalanya,
meruntuhkan harapanku untuk menggapai mimpi yang telah kunantikan sedari dulu.
Jangankan menjadi anggota paskibra, bahkan berjalan pun aku tak bisa.
"ARGHHH... Aku benci ini Tuhan!!!"
***
Sinar matahari menampar wajahku melalui jendela, memaksaku bangun dan melihatnya
pahitnya hidup ini, lagi dan lagi. Sepi, itulah yang kurasakan setiap surya pagi datang. Aku
duduk di atas ranjang tempat tidurku. Menggerutu, bergumam, mengutuk takdir. Hanya itu
yang aku lakukan setelah 7 hari pulang dari rumah sakit.
"Andra Ayo makan dulu Nak." Seru ibuku yang baru pulang berjualan dari pasar.
"Nak, ayo makan." seru ibu yang melihatku diam dari tadi.
"Kamu belum makan dari kemarin kasihan tubuhmu itu." bujuknya. Ia mencoba
menyunggingkan senyum, mecoba menghangatkan suasana. Sayang yang diajak bicara sudah
tak percaya lagi dengan kehangatan hidup.
"Aku tidak lapar." Jawabku dengan suara yang lemah. Bahkan rasanya untuk bersuara
lagi tubuhku sudah tidak kuat. Aku lelah dengan semua ini, aku benci dengan keadaanku
yang seperti ini.
Aku kembali membaringkan tubuhku. Saat telingaku mendengar suara pintu tertutup,
artinya ibuku telah keluar dari kamarku, kamar yang tidak terlalu besar, hanya ada satu lemari
dan satu meja dekat ranjang tempat tidurku. “Gapai Cita-citamu Andra” sudut mataku
membaca kalimat yang tertulis besar di sisi kiri dinding kamar. Kalimat yang aku tulis 5
tahun yang lalu dengan senyuman, kini aku harus membacanya dengan ratapan.
*
"ARGHHH... Bukan ini yang aku inginkan!!!" Kulempar gelas kaca di sampingku,
tepat mengenai kalimat bodoh itu.
"Apa yang kau lakukan Andra, Ayah tidak pernah mengajarimu untuk menjadi orang
yang pesimis" Aku hanya bisa menangis mendengarkannya. Suara yang bergema di langit
langit kamar.
"Apa kau lupa dengan apa yang Ayah ajarkan saat Ayah masih hidup? HA..?" Aku
semakin menangis saat mendengar suara itu kian meninggi.
"Maaf... maafkan aku Ayah." Jawabku dengan lirih.
"Melangkahlah nak. Hidup orang tak ada yang sempurna. Dalam hidup ini tak ada yang
namanya jalan yang mulus bagaikan kapas." Kini suara itu mulai terdengar merendah.
"Ayah... Ayo kembali. Bantu aku menjalani ini semua, Ayo kita sama-sama seperti
dulu lagi." ucapku lirih penuh harap.
"Maaf nak, tempat Ayah di sini. Berjuanglah, kau bisa lebih kuat lagi. hidupmu tak
akan berhenti hanya karena ini. Ingat yang pernah Ayah katakan kepadamu, rintangan hidup
yang tidak mampu membuatmu berhenti adalah energi yang akan membuatmu lebih kuat,
lagi dan lagi. Jadi kenapa kau sekarang berpikir untuk berhenti?"
*
"AYAHHH...."
Kini Aku berusaha untuk duduk dengan benar, nafasku tersenggal-senggal, atmosfer di
dalam kamarku pun berubah menjadi sangat dingin tetapi anehnya tubuhku bercucuran
keringat.
Ceklek!!! Suara pintu kamar terbuka.
"Nak, kau kenapa, apa kau baik-baik saja?" Tanya ibuku sembari memegang gagang
pintu. Lidahku terasa kelu untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkannya.
"Ayo minum dulu nak." Ucap ibuku dengan menyodorkan segelas air.
"Ayo ceritakan kepada Ibu, kau kenapa teriak?" Tanya ibu setelah aku meneguk segelas
air.
"Aku mimpi Ayah Bu, Ayah kecewa kepadaku, aku ini memang anak yang tidak
berguna buat Ayah dan Ibu, aku cuma bisa menyusahkan Ayah dan Ibu saja. Apalagi dengan
kondisiku yang sekarang, apa yang bisa kulakukan. Jangankan membuat bangga, bahkan
mengurus diri sendiri pun aku tak bisa" Ucapku panjang lebar mengeluarkan semua isi
hatiku.
"Nak kau bicara apa? kau kebanggaan Ayah dan Ibu Nak" Ucap ibuku sambil
mendekap bahuku, mengusap punggungku yang ringkih.
"Maafkan aku Bu, maaf." lirihku.
"Jangan kau minta maaf, jangan membuat Ibu sedih dengan perkataan maafmu itu"
"Bu kakiku sudah tidak seperti dulu lagi, aku sudah cacat, bagaimana aku bisa
mencapai cita-citaku bu? Aku telah gagal" ucapku semakin lirih.
"Hey, ini momen kemerdekaan, kemerdekaan yang didapat dengan usaha seluruh
rakyat negeri ini 77 yang lalu. Apakan semua pahlawan negeri ini mengangkat senjata saat
itu? Tidak, ada yang berjuang dengan tulisannya, ada yang berjuang dengan pidatonya, ada
yang berjuang dengan mencerahkan generasi mudanya. Tapi satu hal yang sama, mereka
berjuang dengan cara yang mereka bisa.” Ibu menatapku dalam.
“Jika kau memang ingin membanggakan Ayah dan Ibu, membanggakan negeri ini,
maka bangunlah Nak, lakukan hal terbaik yang kau bisa. Apa kau lupa dengan ucapan
Ayahmu sebelum dia pergi?" Lanjut Ibu bertanya.
"Jika satu jalan tertutup untukmu, maka jangan hanya duduk diam menatap jalan itu.
Lihatlah sekelilingmu, masih banyak jalan terbuka yang menunggu untuk kau lewati" tiba-
tiba saja suara itu ada di kepalaku.
***
Pagi ini aku bangun dengan perasaan yang berbeda. Tenang, itulah yang kurasakan.
Sekarang aku mulai mencoba untuk menerima semuanya, berdamai dengan takdir ini. Toh,
sekeras aku melawan, takdir ini juga harus aku lewati. Aku mulai memikirkan bagaimana
cara agar aku bisa berhasil dengan tujuanku yang sekarang.
Ternyata benar, saat kita menerima kekurangan diri sendiri, perasaan hati kita juga akan
menjadi lebih baik. “Hei kehidupan, aku memang tidak seperti dulu lagi namun aku masih
mempunyai seribu cara lain untuk membanggakan mereka yang aku cintai.”
Nama : Elvira Nur Anggrainy
Judul : Berdamai Dengan Takdir
Asal : PR IPM MTs M 07 Takerharjo
0 Komentar